Guru Sang Pendidik



Guru, sebuah profesi yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan sumber daya manusia. Salah satu profesi tertua dalam sejarah ummat manusia. Oleh karenanya, guru memegang peranan penting dalam pembentukan karakter dan kualitas bangsa. Ditangan guru bangsa ini jaya atau mundur, sukses atau gagal. Maju dan mundurnya sebuah bangsa, berkualitasnya pemimpin bangsa, cerdasnya seorang anak bangsa, didalamnya mesti terkait dengan fungsi guru sebagai agen pembelajaran. Dalam kapasitas sebagai agen pembelajaran, guru berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: “mencerdaskan kehidupan bangsa.”


Dalam hymne Guru yang diciptakan oleh Sartono, guru diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan. Sejalan dengan syair tersebut, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”


Berangkat dari definisi di atas, ternyata tugas guru demikian komprehensif. Profesi guru yang diharapkan bukan hanya bertugas mengajar supaya muridnya menjadi pintar. Guru juga ditugaskan untuk mendidik muridnya menjadi anak yang berakhlak mulia, mem bimbing muridnya agar mereka mengerti, mengarahkan muridnya agar mereka memahami, dan melatih muridnya agar mereka menguasai.



Dengan tugas yang cukup kompleks seorang guru harus memiliki pengetahuan satu tingkat lebih tinggi dari pengetahuan muridnya. Apabila seorang guru menginginkan muridnya dapat “mengerti” sebuah pokok bahasan, tentu gurunya harus lebih dahulu “memahami” pokok bahasan itu. Jika seorang guru menginginkan muridnya “memahami” sebuah pokok bahasan, tentu gurunya harus “menguasai” pokok bahasan itu. Dan, apabila seorang guru menginginkan muridnya dapat “menguasai” sebuah pokok bahasan, tentu gurunya harus lebih dahulu “terampil” dalam pokok bahasan itu. Inilah tantangan profesi guru selaku agen pembelajaran di era teknologi yang makin canggih.


Bila kita melihat sebelum era teknologi sekitar tahun 1970-an, sosok guru merupakan gudang ilmu yang pantas untuk digugu dan ditiru. Di masa itu, buku text book masih terbatas, teknologi informasi belum ada, Oom Google masih belum ditemukan, sehingga sumber ilmu pengetahuan lebih banyak berasal dari hasil penjelasan seorang guru. Bukan hal yang aneh jika jarang murid yang berani adu argumen dengan seorang guru, karena ilmu seorang guru lebih tinggi dari muridnya. 


Kini, seorang guru (terutama yang gagap teknologi) bisa kelimpungan menghadapi murid-murid yang mampu menggali tambahan ilmu pengetahuan dari dunia maya. Hanya dengan memainkan tuts handphone, seorang murid sudah bisa menemukan intisari pokok bahasan hari itu. Dalam posisi ini, tidak mustahil seorang guru akan terpojok lalu kehilangan kewibawaan di depan murid yang lain.


Pantas apabila banyak yang “merintih” menyaksikan profesi guru bukan lagi menjadi pilihan utama dalam memilih pekerjaan. Anak yang prestasi akademiknya excellent hampir tidak ada yang berminat menjadi guru. Lebih-lebih, gaji guru juga tergolong rendah bila dibandingkan dengan gaji guru di beberapa negara lain.  Namun,  banyak yang tidak melihat sisi lain dari profesi guru yang sesungguhnya menyimpan sebuah “rahasia besar” yang nilainya tak terbanding dengan uang.


Barangkali selama ini, para guru “terbius” dengan stigma pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah stigma yang bersifat menghibur dan berkonotasi materi. Seolah-olah profesi guru adalah sebuah profesi yang berpenghasilan sangat rendah. Padahal masih banyak profesi lain yang berpenghasilan dibawah penghasilan guru, meski dengan resiko pekerjaan sampai kehilangan nyawa.


Materi, ternyata mampu mengenyampingkan sejumlah kemudahan yang dimiliki oleh profesi guru. Seperti kenaikan pangkat bisa dipercepat dua tahun sekali. Boleh tidak bekerja saat murid-murid memasuki masa liburan. Memperoleh tunjangan profesi, dan bagi mereka yang telah memiliki sertifikasi memperoleh tunjangan sertifikasi 1x dari gaji pokok.


Pastinya, stigma pahlawan tanpa tanda jasa sesungguhnya telah menafikan sebuah rahasia besar yang menyertai profesi guru. Pegiat diprofesi guru digiring untuk melihat materi sebagai satu-satunya solusi dalam mengatrol kualitas anak didik. Terus terang banyak yang terpengaruh,  sehingga profesi guru –kadangkala– dijalankan dengan setengah hati. Alhamdulillah, ternyata masih banyak juga yang meyakini bahwa profesi guru adalah sebuah pekerjaan di ranah amal. Mereka adalah guru-guru yang ikhlas.


Beruntunglah kelompok guru yang menyadari profesinya berada di ranah amal. Terdapat sebuah rahasia besar dalam ranah ini. Sebuah rahasia yang tidak dapat dibandingkan dengan materi. Apakah rahasia itu? Kita tentu pernah mendengar hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari hadis Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Apabila anak adam meninggal dunia terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, atau anak yang shalih yang mendoakannya, atau ilmu yang bermanfaat.”
Hadis tersebut menegaskan bahwa setelah manusia meninggal, hanya tiga hal yang bisa menyertainya ke alam barzah. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Siapakah yang paling besar peluangnya menghasilkan ilmu yang bermanfaat? Dialah para pegiat diprofesi guru. Tegasnya adalah guru dan tenaga pengajar lainnya. Mereka yang bertugas melakukan transfer of knowledge.
Mari kita mengambil sebuah contoh: seorang guru fisika yang mengajarkan kepada muridnya tentang hukum Archimedes. Berdasarkan ilmu yang diajarkan gurunya itu, si murid membangun sebuah kapal penyeberangan yang memiliki tingkat kestabilan dan kenyamanan yang sangat terjamin. Dan, berduyun-duyun orang menggunakan kapal tersebut untuk menyeberangi pulau tujuan. Yakinkah pembaca jika amalan yang mengalir kepada si guru tiada terhenti selama kapal itu masih bisa digunakan?


Apabila terdapat sepuluh, seratus, atau seribu murid berhasil mengaplikasikan ilmu yang diajarkan oleh seorang guru menjadi ilmu yang bermanfaat, mampukah dihitung banyaknya amalan yang mengalir terus menerus untuk seorang guru? Wallahualam bissawab.


Subhanallah, sulit untuk dibayangkan imbalan yang akan diperoleh seorang guru. Saat dia masih bertugas, gaji dan tunjangan diterima, amalanpun mengalir deras kedalam “rekening” amalnya. Begitu dia meninggal dunia, amalan itu masih terus mengalir sampai akhir zaman. Bukankah profesi guru akan disongsong oleh kebahagiaan akhirat seperti yang dijanjikan Sang Khalik?


Bagaimana dengan profesi lain? Belum tentu semua profesi berpeluang menghasilkan amalan sesuai dengan “kisi-kisi” yang disebutkan Nabi SAW dalam hadis yang diriwayatkan Muslim di atas. Sebaliknya, profesi guru memiliki peluang yang sangat besar untuk menghasilkan amalan manakala materi ajarnya mampu diserap dan diaplikasikan oleh murid-muridnya.


Bahkan, peluang menambah amalan makin besar pada saat para muridnya menjadi anak-anak yang pintar, cerdas, terampil dan berakhlak mulia. Dengan begitu besarnya peluang profesi guru dalam memperoleh amalan, masihkah diperlukan “tanda jasa” untuk melengkapi profesi ini. Masihkah kita menghibur diri dengan sebutan klise itu? Tidakkah lebih baik stigma pahlawan tanpa tanda jasa diganti saja dengan sebutan baru: Pahlawan di ranah amal? Bapak dan ibu guru, engkau pelita dalam kegelapan. Selamat melaju di jalur surga. 

0 komentar:

Posting Komentar

20 Mei 2012

Guru Sang Pendidik



Guru, sebuah profesi yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan sumber daya manusia. Salah satu profesi tertua dalam sejarah ummat manusia. Oleh karenanya, guru memegang peranan penting dalam pembentukan karakter dan kualitas bangsa. Ditangan guru bangsa ini jaya atau mundur, sukses atau gagal. Maju dan mundurnya sebuah bangsa, berkualitasnya pemimpin bangsa, cerdasnya seorang anak bangsa, didalamnya mesti terkait dengan fungsi guru sebagai agen pembelajaran. Dalam kapasitas sebagai agen pembelajaran, guru berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: “mencerdaskan kehidupan bangsa.”


Dalam hymne Guru yang diciptakan oleh Sartono, guru diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan. Sejalan dengan syair tersebut, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”


Berangkat dari definisi di atas, ternyata tugas guru demikian komprehensif. Profesi guru yang diharapkan bukan hanya bertugas mengajar supaya muridnya menjadi pintar. Guru juga ditugaskan untuk mendidik muridnya menjadi anak yang berakhlak mulia, mem bimbing muridnya agar mereka mengerti, mengarahkan muridnya agar mereka memahami, dan melatih muridnya agar mereka menguasai.



Dengan tugas yang cukup kompleks seorang guru harus memiliki pengetahuan satu tingkat lebih tinggi dari pengetahuan muridnya. Apabila seorang guru menginginkan muridnya dapat “mengerti” sebuah pokok bahasan, tentu gurunya harus lebih dahulu “memahami” pokok bahasan itu. Jika seorang guru menginginkan muridnya “memahami” sebuah pokok bahasan, tentu gurunya harus “menguasai” pokok bahasan itu. Dan, apabila seorang guru menginginkan muridnya dapat “menguasai” sebuah pokok bahasan, tentu gurunya harus lebih dahulu “terampil” dalam pokok bahasan itu. Inilah tantangan profesi guru selaku agen pembelajaran di era teknologi yang makin canggih.


Bila kita melihat sebelum era teknologi sekitar tahun 1970-an, sosok guru merupakan gudang ilmu yang pantas untuk digugu dan ditiru. Di masa itu, buku text book masih terbatas, teknologi informasi belum ada, Oom Google masih belum ditemukan, sehingga sumber ilmu pengetahuan lebih banyak berasal dari hasil penjelasan seorang guru. Bukan hal yang aneh jika jarang murid yang berani adu argumen dengan seorang guru, karena ilmu seorang guru lebih tinggi dari muridnya. 


Kini, seorang guru (terutama yang gagap teknologi) bisa kelimpungan menghadapi murid-murid yang mampu menggali tambahan ilmu pengetahuan dari dunia maya. Hanya dengan memainkan tuts handphone, seorang murid sudah bisa menemukan intisari pokok bahasan hari itu. Dalam posisi ini, tidak mustahil seorang guru akan terpojok lalu kehilangan kewibawaan di depan murid yang lain.


Pantas apabila banyak yang “merintih” menyaksikan profesi guru bukan lagi menjadi pilihan utama dalam memilih pekerjaan. Anak yang prestasi akademiknya excellent hampir tidak ada yang berminat menjadi guru. Lebih-lebih, gaji guru juga tergolong rendah bila dibandingkan dengan gaji guru di beberapa negara lain.  Namun,  banyak yang tidak melihat sisi lain dari profesi guru yang sesungguhnya menyimpan sebuah “rahasia besar” yang nilainya tak terbanding dengan uang.


Barangkali selama ini, para guru “terbius” dengan stigma pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah stigma yang bersifat menghibur dan berkonotasi materi. Seolah-olah profesi guru adalah sebuah profesi yang berpenghasilan sangat rendah. Padahal masih banyak profesi lain yang berpenghasilan dibawah penghasilan guru, meski dengan resiko pekerjaan sampai kehilangan nyawa.


Materi, ternyata mampu mengenyampingkan sejumlah kemudahan yang dimiliki oleh profesi guru. Seperti kenaikan pangkat bisa dipercepat dua tahun sekali. Boleh tidak bekerja saat murid-murid memasuki masa liburan. Memperoleh tunjangan profesi, dan bagi mereka yang telah memiliki sertifikasi memperoleh tunjangan sertifikasi 1x dari gaji pokok.


Pastinya, stigma pahlawan tanpa tanda jasa sesungguhnya telah menafikan sebuah rahasia besar yang menyertai profesi guru. Pegiat diprofesi guru digiring untuk melihat materi sebagai satu-satunya solusi dalam mengatrol kualitas anak didik. Terus terang banyak yang terpengaruh,  sehingga profesi guru –kadangkala– dijalankan dengan setengah hati. Alhamdulillah, ternyata masih banyak juga yang meyakini bahwa profesi guru adalah sebuah pekerjaan di ranah amal. Mereka adalah guru-guru yang ikhlas.


Beruntunglah kelompok guru yang menyadari profesinya berada di ranah amal. Terdapat sebuah rahasia besar dalam ranah ini. Sebuah rahasia yang tidak dapat dibandingkan dengan materi. Apakah rahasia itu? Kita tentu pernah mendengar hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari hadis Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Apabila anak adam meninggal dunia terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, atau anak yang shalih yang mendoakannya, atau ilmu yang bermanfaat.”
Hadis tersebut menegaskan bahwa setelah manusia meninggal, hanya tiga hal yang bisa menyertainya ke alam barzah. Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Siapakah yang paling besar peluangnya menghasilkan ilmu yang bermanfaat? Dialah para pegiat diprofesi guru. Tegasnya adalah guru dan tenaga pengajar lainnya. Mereka yang bertugas melakukan transfer of knowledge.
Mari kita mengambil sebuah contoh: seorang guru fisika yang mengajarkan kepada muridnya tentang hukum Archimedes. Berdasarkan ilmu yang diajarkan gurunya itu, si murid membangun sebuah kapal penyeberangan yang memiliki tingkat kestabilan dan kenyamanan yang sangat terjamin. Dan, berduyun-duyun orang menggunakan kapal tersebut untuk menyeberangi pulau tujuan. Yakinkah pembaca jika amalan yang mengalir kepada si guru tiada terhenti selama kapal itu masih bisa digunakan?


Apabila terdapat sepuluh, seratus, atau seribu murid berhasil mengaplikasikan ilmu yang diajarkan oleh seorang guru menjadi ilmu yang bermanfaat, mampukah dihitung banyaknya amalan yang mengalir terus menerus untuk seorang guru? Wallahualam bissawab.


Subhanallah, sulit untuk dibayangkan imbalan yang akan diperoleh seorang guru. Saat dia masih bertugas, gaji dan tunjangan diterima, amalanpun mengalir deras kedalam “rekening” amalnya. Begitu dia meninggal dunia, amalan itu masih terus mengalir sampai akhir zaman. Bukankah profesi guru akan disongsong oleh kebahagiaan akhirat seperti yang dijanjikan Sang Khalik?


Bagaimana dengan profesi lain? Belum tentu semua profesi berpeluang menghasilkan amalan sesuai dengan “kisi-kisi” yang disebutkan Nabi SAW dalam hadis yang diriwayatkan Muslim di atas. Sebaliknya, profesi guru memiliki peluang yang sangat besar untuk menghasilkan amalan manakala materi ajarnya mampu diserap dan diaplikasikan oleh murid-muridnya.


Bahkan, peluang menambah amalan makin besar pada saat para muridnya menjadi anak-anak yang pintar, cerdas, terampil dan berakhlak mulia. Dengan begitu besarnya peluang profesi guru dalam memperoleh amalan, masihkah diperlukan “tanda jasa” untuk melengkapi profesi ini. Masihkah kita menghibur diri dengan sebutan klise itu? Tidakkah lebih baik stigma pahlawan tanpa tanda jasa diganti saja dengan sebutan baru: Pahlawan di ranah amal? Bapak dan ibu guru, engkau pelita dalam kegelapan. Selamat melaju di jalur surga. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

SELAMAT DATANG DIBLOG SAYA - SEMOGA BERMANFAAT